Senin, 01 Maret 2010 13:04
Depdagri dan sebuah ” Tim Independen” yang terdiri dari sembilan pakar otonomi daerah yang kredibel, saat ini sedang menyelesaikan instrumen evaluasi terhadap 205 daerah pemekaran di seluruh Indonesia. Depdagri menargetkan tim tersebut dapat melaporkan hasil penilaian terhadap
daerah-daerah baru pada bulan Maret 2010. Pemeringkatan daerah pemekaran menjadi lima kategori, dari yang sangat mampu sampai yang sangat tidak mampu, dan pemetaan permasalahan daerah pemekaran, merupakan salah satu output yang akan dihasilkan kelompok pakar otonomi daerah ini. Tulisan ini mengenai prospek tim tersebut serta kira-kira bagaimana kontribusinya terhadap perbaikan kebijakan pemekaran daerah yang rasional dan efektif di negara kita. Kompetensi dan integritas para anggota ”Tim Independen” cukup mengesankan. Mereka ada yang berasal dari LIPI, UGM, UI, IIP, KPPOD, peneliti pada Jawa Pos Award, dll. Sedangkan kendala yang dapat menjadi penghalang efektivitas kinerja tim tersebut, pertama adalah masalah sempitnya waktu yang diberikan oleh Depdagri. Untuk pemyusunan instrumen evaluasi hingga pelaporan hasil evaluasi terhadap 205 daerah pemekaran, tim cuma diberi waktu sekitar tiga bulan. Kendala kedua adalah ketersediaan data, khususnya data kualitatif. Selain faktor peningkatan kesejahteraan masyarakat, perbaikan pelayanan publik dan daya saing, faktor good governance juga akan menjadi parameter untuk penilaian keberhasilan dan efektivitas suatu daerah pemekaran. Untuk mengetahui ada tidaknya good governance di daerah pemekaran, maka yang perlu dievaluasi antara lain adalah transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Ketiga indikator tersebut tidak cukup dinilai dari data kuantitatif, namun juga perlu melakukan cross-check dengan data kualitatif yang didapat melalui wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber di lapangan dan dengan observasi langsung ke daerah sehingga membutuhkan waktu dan dana yang cukup memadai. Jangan sampai hanya karena alasan keterbatasan waktu dan dana maka tim menjadi sangat terburu-buru bekerja yang nantinya hanya akan menghasilkan hasil evaluasi yang tidak akurat. Bila hal tersebut terjadi maka hasil kerja keras tim akan sia-sia karena hasil evaluasi mereka dapat mendatangkan protes dari daerah-daerah atau publik yang tidak terima karena metodologi dan data tim yang kurang reliable. Misalnya saja ada daerah pemekaran yang dinilai ”berhasil” hanya karena PAD, PDRB dan ”Daya Saing”nya tinggi. Padahal ”prestasi” tersebut mungkin dicapai pemda dengan merusak sumber daya alam, dengan menciptakan pungutan daerah yang ’aneh-aneh’ yang justru menciptakan high-cost economy , disertai gaya hidup si bupati dengan kroni-kroninya yang ”wah” dan boros dengan fasilitas APBD di tengah-tengah hidup rakyat yang prihatin. Gejala semacam itu bisa ditemukan di sejumlah daerah pemekaran di Indonesia dan sulit dievaluasi secara akurat kalau terlalu mengandalkan metode kuantitatif dan menempatkan metode kualitatif hanya sebagai ”pemanis” belaka. Oleh karena itu sekali lagi tim independen tidak boleh melakukan simplifikasi terhadap metode kualitatif dalam evaluasi supaya hasil penilaian akhir tidak diragukan validitasnya.