Laman

Selasa, 14 Desember 2010

Evaluasi Pemekaran Daerah dan Saran Perbaikan ke Depan

Ditulis oleh ri Ratnawati
Senin, 01 Maret 2010 13:04
Depdagri dan sebuah ” Tim Independen” yang terdiri dari sembilan pakar otonomi daerah yang kredibel, saat ini sedang menyelesaikan instrumen evaluasi terhadap 205 daerah pemekaran di seluruh Indonesia. Depdagri menargetkan tim tersebut dapat melaporkan hasil penilaian terhadap
daerah-daerah baru pada bulan Maret 2010. Pemeringkatan daerah pemekaran menjadi lima kategori, dari yang sangat mampu sampai yang sangat tidak mampu, dan pemetaan permasalahan daerah pemekaran, merupakan salah satu output yang akan dihasilkan kelompok pakar otonomi daerah ini. Tulisan ini mengenai prospek tim tersebut serta kira-kira bagaimana kontribusinya terhadap perbaikan kebijakan pemekaran daerah yang rasional dan efektif di negara kita. Kompetensi dan integritas para anggota ”Tim Independen” cukup mengesankan. Mereka ada yang berasal dari LIPI, UGM, UI, IIP, KPPOD, peneliti pada Jawa Pos Award, dll. Sedangkan kendala yang dapat menjadi penghalang efektivitas kinerja tim tersebut, pertama adalah masalah sempitnya waktu yang diberikan oleh Depdagri. Untuk pemyusunan instrumen evaluasi hingga pelaporan hasil evaluasi terhadap 205 daerah pemekaran, tim cuma diberi waktu sekitar tiga bulan. Kendala kedua adalah ketersediaan data, khususnya data kualitatif. Selain faktor peningkatan kesejahteraan masyarakat, perbaikan pelayanan publik dan daya saing, faktor good governance juga akan menjadi parameter untuk penilaian keberhasilan dan efektivitas suatu daerah pemekaran. Untuk mengetahui ada tidaknya good governance di daerah pemekaran, maka yang perlu dievaluasi antara lain adalah transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Ketiga indikator tersebut tidak cukup dinilai dari data kuantitatif, namun juga perlu melakukan cross-check dengan data kualitatif yang didapat melalui wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber di lapangan dan dengan observasi langsung ke daerah sehingga membutuhkan waktu dan dana yang cukup memadai. Jangan sampai hanya karena alasan keterbatasan waktu dan dana maka tim menjadi sangat terburu-buru bekerja yang nantinya hanya akan menghasilkan hasil evaluasi yang tidak akurat. Bila hal tersebut terjadi maka hasil kerja keras tim akan sia-sia karena hasil evaluasi mereka dapat mendatangkan protes dari daerah-daerah atau publik yang tidak terima karena metodologi dan data tim yang kurang reliable. Misalnya saja ada daerah pemekaran yang dinilai ”berhasil” hanya karena PAD, PDRB dan ”Daya Saing”nya tinggi. Padahal ”prestasi” tersebut mungkin dicapai pemda dengan merusak sumber daya alam, dengan menciptakan pungutan daerah yang ’aneh-aneh’ yang justru menciptakan high-cost economy , disertai gaya hidup si bupati dengan kroni-kroninya yang ”wah” dan boros dengan fasilitas APBD di tengah-tengah hidup rakyat yang prihatin. Gejala semacam itu bisa ditemukan di sejumlah daerah pemekaran di Indonesia dan sulit dievaluasi secara akurat kalau terlalu mengandalkan metode kuantitatif dan menempatkan metode kualitatif hanya sebagai ”pemanis” belaka. Oleh karena itu sekali lagi tim independen tidak boleh melakukan simplifikasi terhadap metode kualitatif dalam evaluasi supaya hasil penilaian akhir tidak diragukan validitasnya.


Mayoritas Pemekaran Wilayah Bermasalah

21 JUNI 2010: Dari 205 wilayah di Indonesia yang telah dimekarkan, 80 persen pemekaran itu ternyata bermasalah.

Sekretaris Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sonny Sumarsono, mengatakan kebanyakan permasalahan yang muncul dari pemekaran wilayah di Indonesia adalah pengalihan aset yang tidak lancar dan sengketa batas wilayah.

''Kebanyakan masalah yang dihadapi dari pemekaran wilayah adalah pengalihan aset, seperti di wilayah Tasikmalaya,'' katanya di Bandung, Senin (21/6).

Oleh karena itu, untuk mengurangi permasalahan pemekaran wilayah, Depdagri, kata Sonny, akan merivisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

''UU No32 Tahun 2004 akan kita revisi, rencananya pertengahan tahun ini kami akan berkoordinasi dengan DPR. Begitu pun dengan PP 78 tahun 2007 sebagai dasar pertimbangan pengembangan daerah juga akan kita bahas,'' ungkapnya.

Ia menuturkan, hingga saat ini Kemendagri menerima 150 usulan pemekaran wilayah dari seluruh Indonesia. Dari 150 usulan tersebut, kata Sonny, hanya 10 persen saja yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dan 75 persennya tidak mendapatkan izin atau rekomendasi dari gubernur serta DPRD.

''Untuk bisa melakukan pemekaran wilayah itu harus ada syarat dari gubernur dan DPRD. Nah, selama ini dari 150 usulan pemekaran wilayah sekitar 75 persennya belum mengantongi rekomendasi dari gubernur dan DPRD,'' paparnya.
sumber : http://www.menkokesra.go.id/

Pembentukan Daerah Otonomi Baru Provinsi Kaltara

Oleh : *Ir. Fuad Asaddin, M.Si. dan Drs. Hamdhani 

Pemekaran provinsi yang terus berkembang dalam 10 tahun terakhir di Kalimantan Timur, adalah pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Kalimantan Utara (Provinsi Kaltara). Pembentukan DOB Provinsi Kaltara ini telah diwacanakan, dan diusulkan sejak tahun 2000 yang lalu. Bahkan berbagai pemenuhan persyaratannya, yang semula mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun 2000 tentang Tatacara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah telah dipenuhi, namun dengan terbitnya PP Nomor 78 tahun 2007 tentang hal yang sama, telah terjadi perluasan dan pendalaman persyaratan, akibatnya semua persyaratan, bahkan kajian pembentukan DOB Provinsi Kaltara harus diulang. Namun perkembangan terakhir sampai dengan saat ini kecuali beberapa persyaratan sebuah daerah yang belum dipenuhi termasuk kesepakatan nama ibukota, persyaratan lain telah dipenuhi.

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF OTONOMI DAERAH TERHADAP KEMAJUAN BANGSA INDONESIA

A. Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: Catatan Implikasi Positif dan Problematika

Pendahuluan
Setelah kontroversi revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beberapa waktu yang lalu, kini setelah terbit UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penggantinya ternyata masih juga menuai pro-kontra. Kondisi demikian dapat kita lihat melalui berbagai substansi pasal-pasal yang terkandung didalamnya, terutama sekali tentang pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal). Keberadaan UU ini dimulai ketika tarik ulur kebijakan publik “dimenangkan” oleh pemerintah melalui kebijakan revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dinilai banyak kalangan kebablasan dan memiliki berbagai kelemahan. Idealnya, UU ini mampu menjawab berbagai masukan yang telah digulirkan berbagai kalangan baik masyarakat maupun dari elemen pemerintah itu sendiri. Namun apa daya, memasukan komponen Pemilihan kepala daerah langsung ternyata membawa ketidakpuasan beberapa pihak sehingga sampai tulisan ini dibuat, permohonan uji materiil (judicial review) telah dikeluarkan hasilnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (Selasa, 22 Maret 2005) yang mengabulkan sebagian dari tuntutan pihak yang mengajukan, yaitu gabungan sejumlah LSM dan 15 KPUD. Beberapa catatan yang penulis tangkap dan dapat dirangkum secara sederhana dari UU pemerintahan daerah ini antara lain:

Implikasi positif UU No.32 tahun 2004

UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) menggantikan Undang-undang yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang dicanangkan pemerintahan baru di era reformasi ini, yaitu UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 dengan judul yang sama. Sejak disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2004, maka Undang-undang ini berlaku efektif. UU yang lazim disebut UU Pemda ini memiliki jumlah pasal yang lebih banyak dari UU sebelumnya, yaitu memuat 240 pasal, lebih banyak dibanding pendahulunya yang hanya 134 pasal.